Terjemahkan halaman ini

Kamis, 20 November 2014

Telur asin berkualitas prima


Telur Asin Berkualitas Prima
Penerapan kendali mutu dalam industri pengolahan telur asin

Pada dasarnya cara membuat telur asin dengan cita rasa dan aroma yang beragam hampir sama dengan cara untuk membuat telur asin klasik / original / biasa.  Mulai dari segi pemilihan bahan, penyiapan, proses produksi, sampai pengolahan akhir hingga siap dikonsumsi pun nyaris tidak ada bedanya.
Satu satunya hal mendasar yang membedakannya adalah faktor penambahan bahan bahan tertentu yang fungsinya nanti akan memberikan citarasa tersendiri sesuai dengan yang kita rencanakan sedari awal.
Bila seorang produsen ingin memberikan cita rasa tertentu seperti aroma bawang putih, cita rasa pedas, atau aroma rempah rempah, hanya tinggal menambahkan di dalam adonan pembungkus sejumlah bahan bahan seperti ekstrak bawang putih, ekstrak cabai, ataupun ekstrak rempah rempah seperti lada, kayu manis, bahkan gula merah sekalipun.

Dalam hal ini penulis yang juga seorang produsen telur asin di  wilayah Jakarta menyarankan untuk menghindari bahan bahan makanan tambahan seperti penyedap rasa sintetis, atau pencita rasa sintetis buatan pabrik yang banyak beredar di pasaran, walaupun untuk menggunakannya bukanlah sesuatu hal yang dilarang, karena bahan bahan sintetis tersebut tentu sudah melalui tahap penelitian di badan POM RI.
Penulis sendiri selama ini selalu menerapkan metode alami, yaitu hanya menggunakan bahan bahan alami berkualitas dan pilihan dalam mengolah dan memproduksi telur asin berkualitas.

Sungguh !  varian rasa yang bisa dihasilkan akan sangat beragam variannya dan menarik perhatian bagi setiap produsen yang tertantang untuk mengeksplorasinya. Hal ini juga akan memberikan suatu hal yang baru bagi setiap konsumen penggemar telur asin bercita rasa khas Indonesia.

Bagi seorang produsen, kegiatan pengolahan telur asin ini tak ubahnya seperti pekerjaan seorang seniman yang bermain dengan ide kreatifnya lalu menuangkannya dalam  sebuah media tertentu, yang akan dinikmati oleh masyarakat penggemar keindahan karya karyanya tadi.

Bagi produsen telur asin, agaknya hal ini adalah sesuatu yang patut untuk dicoba sebagai sebuah bentuk diversifikasi terhadap varian produk telur asin yang diolahnya.  Dalam dunia usaha, produsen yang baik selalu akan menerapkan metode metode yang sudah baku / patent yang mungkin sudah menjadi handgrip dan pakem nya.

Adakalanya seorang produsen bisa menguasai sebuat metode produksi telur asin varian rasa tertentu dalam waktu singkat, bermodalkan praktikum atas resep resep yang didapatkannya dari orang lain atau dari tulisan tulisan yang telah didapatkannya dari share info yang banyak bertebaran di dunia maya.
Namun adakalanya seorang produsen baru dapat memperoleh dan menguasai sebuah metode setelah ia bereksperimen dalam produksinya beberapakali, berulang ulang, hingga dirasakannya hasil yang diperoleh dinilainya sebagai yang terbaik dari segi cita rasa maupun provitnya.
Ada sebuah prinsip dasar / kaidah baku yang berlaku pada seluruh usaha dibidang industri kuliner, termasuk produksin telur asin,  yang tak terbantahkan oleh siapapun :


“ Untuk soal rasa, lidah tak pernah berdusta “ 

Atau berlaku juga kaidah lainnya :

“ Ada rupa, maka akan ada harga “


Dalam beberapa kondisi dapat juga berlaku prinsip “ Konsumen adalah raja “, Namun pada kondisi tertentu, “ Konsumen sejatinya adalah mitra usaha”
Prinsip prinsip dasar di atas adalah rambu rambu bagi setiap produsen dibidang industri kuliner manapun untuk selalu menjaga kualitas produksinya dengan tidak mengesampingkan faktor profit yang sesuai dengan kelasnya / kualitasnya masing masing.

Sekedar untuk berbagi ilmu dan pengalaman, beberapa tahun yang lalu kala penulis masih bekerja di sebuah perusahaan riset pemasaran internasional ( TNS Indonesia),  penulis sering berinteraksi dengan beraneka ragam lapisan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan di pulau Jawa, tujuannya adalah untuk memperoleh data data valid tentang tingkat kepuasan konsumen atas performa produk produk tertentu yang sedang mereka konsumsi atau mereka gunakan.


Beragam masukan barupa saran bahkan kritikan pun terlontar secara gamblang dengan logat dan gaya bahasa khas masyarakat Indonesia yang majemuk.

Ketika mereka mengekspresikan rasa kepuasannya terhadap produk yang sedang mereka gunakan, penulis mendapati suatu fakta nyata, bahwa faktor ekonomis ( harga ) adalah faktor nomor 2 yang baru akan mereka ( konsumen ) pertimbangkan setelah melihat faktor pertama dan yang utama, yaitu segi kualitas dalam pemilihan sebuah produk. Hal ini berlaku untuk mayoritas kalangan mulai dari tingkat sosial tinggi sampai menengah. 

Ada sebuah pengalaman unik saat penulis bertandang untuk mengambil sampel data ke rumah seorang warga / masyarakat konsumen yang terletak di sebuah wilayah perkampungan di pinggiran Jakarta Selatan. Saking ngefansnya si tuan rumah pada produk minunan soft drink yang dikonsumsinya, sampai sampai  penulis disuguhi dengan produk minuman kesukaannya tersebut yang langsung diambilnya dari kulkas. Produk itu adalah minuman jus buah  dari sebuah merek terkenal.

Dalam hati, kala itu  penulis sempat berucap, “ saya saja belum pernah mencoba merek soft drink ini, tapi bapak ini ngefans sekali !, bagaimana bisa begitu ?”

Hal seperti itu sering terulang saat penulis bertugas mengambil sampel data di wilayah Bekasi maupun Banten. Beberapa merek soft drink jenis soda, jus buah, bahkan teh yang belum pernah penulis membelinya sekalipun, penulis bisa coba saat itu dengan Cuma Cuma. Bahkan saat bertugas di wilayah Tangerang, penulis sempat disuguhi makan siang bersama tuan rumah yang kala itu merasa senang ketika diwawancara perihal produk kegemarannya tersebut.
Fakta ini menyimpulkan bahwa masyarakat konsumen baik di perkotaan maupun di pedesaan di Indonesia, saat ini ternyata mulai menunjukkan peningkatan  kecerdasannya dalam urusan pilih memilih suatu barang.
Sementara untuk segmen masyarakat di tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, penulis pun masih melihat relevansi fakta tadi dengan perbandingan sekitar 50% untuk mereka yang lebih mengutamakan faktor kualitas, dan 50% sisanya “terpaksa” lebih mempertimbangkan segi ekonomis ( harga ) dalam memilih sebuah produk.

Bahkan ketika penulis mencatat sejumlah keluhan dan complain dari sebagian konsumen, seketika penulis merasakan seolah olah ia sedang berada di posisi sebagai “terdakwa” dalam sebuah persidangan, walaupun sebelumnya telah dijelaskan bahwa riset pemasaran tersebut adalah independent karena tidak mengatas namakan merek untuk produk tertentu.

Materi complain dan dan keluhan konsumen umumnya berkisar pada kualitas produk yang dirasa tidak sebanding dengan harga yang harus mereka keluarkan, atau seputar layanan purna jual yang dipandangnya kurang optimal. 

Kesimpulannya faktor kualitas dan layanan konsumen adalah superior dalam dunia pemasaran yang terbuka, jujur, dan sportif.
Bisakah aksioma ini diterapkan pada bidang industri kuliner seperti produksi telur asin ?


Jawabnya, tentu saja bisa.



Bogor, 21 November 2014, jam 10.40

                    dhaniraden@yahoo.com