Telur Asin Berkualitas Prima
Penerapan kendali
mutu dalam industri pengolahan telur asin
Pada dasarnya cara membuat telur asin dengan cita
rasa dan aroma yang beragam hampir sama dengan cara untuk membuat telur asin
klasik / original / biasa. Mulai dari segi
pemilihan bahan, penyiapan, proses produksi, sampai pengolahan akhir hingga
siap dikonsumsi pun nyaris tidak ada bedanya.
Satu satunya hal
mendasar yang membedakannya adalah faktor penambahan bahan bahan tertentu yang
fungsinya nanti akan memberikan citarasa tersendiri sesuai dengan yang kita
rencanakan sedari awal.
Bila seorang
produsen ingin memberikan cita rasa tertentu seperti aroma bawang putih, cita
rasa pedas, atau aroma rempah rempah, hanya tinggal menambahkan di dalam adonan
pembungkus sejumlah bahan bahan seperti ekstrak bawang putih, ekstrak cabai,
ataupun ekstrak rempah rempah seperti lada, kayu manis, bahkan gula merah
sekalipun.
Dalam hal ini
penulis yang juga seorang produsen telur asin di wilayah Jakarta menyarankan untuk menghindari
bahan bahan makanan tambahan seperti penyedap rasa sintetis, atau pencita rasa
sintetis buatan pabrik yang banyak beredar di pasaran, walaupun untuk
menggunakannya bukanlah sesuatu hal yang dilarang, karena bahan bahan sintetis
tersebut tentu sudah melalui tahap penelitian di badan POM RI.
Penulis sendiri
selama ini selalu menerapkan metode alami, yaitu hanya menggunakan bahan bahan alami
berkualitas dan pilihan dalam mengolah dan memproduksi telur asin berkualitas.
Sungguh ! varian rasa yang bisa dihasilkan akan sangat
beragam variannya dan menarik perhatian bagi setiap produsen yang tertantang
untuk mengeksplorasinya. Hal ini juga akan memberikan suatu hal yang baru bagi
setiap konsumen penggemar telur asin bercita rasa khas Indonesia.
Bagi seorang
produsen, kegiatan pengolahan telur asin ini tak ubahnya seperti pekerjaan seorang
seniman yang bermain dengan ide kreatifnya lalu menuangkannya dalam sebuah media tertentu, yang akan dinikmati
oleh masyarakat penggemar keindahan karya karyanya tadi.
Bagi produsen
telur asin, agaknya hal ini adalah sesuatu yang patut untuk dicoba sebagai
sebuah bentuk diversifikasi terhadap varian produk telur asin yang diolahnya. Dalam dunia usaha, produsen yang baik selalu akan
menerapkan metode metode yang sudah baku / patent yang mungkin sudah menjadi
handgrip dan pakem nya.
Adakalanya
seorang produsen bisa menguasai sebuat metode produksi telur asin varian rasa
tertentu dalam waktu singkat, bermodalkan praktikum atas resep resep yang
didapatkannya dari orang lain atau dari tulisan tulisan yang telah
didapatkannya dari share info yang banyak bertebaran di dunia maya.
Namun adakalanya
seorang produsen baru dapat memperoleh dan menguasai sebuah metode setelah ia
bereksperimen dalam produksinya beberapakali, berulang ulang, hingga
dirasakannya hasil yang diperoleh dinilainya sebagai yang terbaik dari segi
cita rasa maupun provitnya.
Ada sebuah
prinsip dasar / kaidah baku yang berlaku pada seluruh usaha dibidang industri kuliner,
termasuk produksin telur asin, yang tak
terbantahkan oleh siapapun :
“ Untuk soal
rasa, lidah tak pernah berdusta “
Atau berlaku juga
kaidah lainnya :
“ Ada rupa, maka
akan ada harga “
Dalam beberapa
kondisi dapat juga berlaku prinsip “ Konsumen adalah raja “, Namun pada kondisi
tertentu, “ Konsumen sejatinya adalah mitra usaha”
Prinsip prinsip dasar
di atas adalah rambu rambu bagi setiap produsen dibidang industri kuliner manapun
untuk selalu menjaga kualitas produksinya dengan tidak mengesampingkan faktor
profit yang sesuai dengan kelasnya / kualitasnya masing masing.
Sekedar untuk berbagi
ilmu dan pengalaman, beberapa tahun yang lalu kala penulis masih bekerja di
sebuah perusahaan riset pemasaran internasional ( TNS Indonesia), penulis sering berinteraksi dengan beraneka
ragam lapisan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan di pulau Jawa,
tujuannya adalah untuk memperoleh data data valid tentang tingkat kepuasan
konsumen atas performa produk produk tertentu yang sedang mereka konsumsi atau
mereka gunakan.
Beragam masukan
barupa saran bahkan kritikan pun terlontar secara gamblang dengan logat dan
gaya bahasa khas masyarakat Indonesia yang majemuk.
Ketika mereka
mengekspresikan rasa kepuasannya terhadap produk yang sedang mereka gunakan, penulis
mendapati suatu fakta nyata, bahwa faktor ekonomis ( harga ) adalah faktor
nomor 2 yang baru akan mereka ( konsumen ) pertimbangkan setelah melihat faktor
pertama dan yang utama, yaitu segi kualitas dalam pemilihan sebuah produk. Hal
ini berlaku untuk mayoritas kalangan mulai dari tingkat sosial tinggi sampai
menengah.
Ada sebuah
pengalaman unik saat penulis bertandang untuk mengambil sampel data ke rumah
seorang warga / masyarakat konsumen yang terletak di sebuah wilayah perkampungan
di pinggiran Jakarta Selatan. Saking ngefansnya si tuan rumah pada produk
minunan soft drink yang dikonsumsinya, sampai sampai penulis disuguhi dengan produk minuman kesukaannya
tersebut yang langsung diambilnya dari kulkas. Produk itu adalah minuman jus
buah dari sebuah merek terkenal.
Dalam hati, kala
itu penulis sempat berucap, “ saya saja
belum pernah mencoba merek soft drink ini, tapi bapak ini ngefans sekali !, bagaimana
bisa begitu ?”
Hal seperti itu
sering terulang saat penulis bertugas mengambil sampel data di wilayah Bekasi
maupun Banten. Beberapa merek soft drink jenis soda, jus buah, bahkan teh yang
belum pernah penulis membelinya sekalipun, penulis bisa coba saat itu dengan Cuma
Cuma. Bahkan saat bertugas di wilayah Tangerang, penulis sempat disuguhi makan
siang bersama tuan rumah yang kala itu merasa senang ketika diwawancara perihal
produk kegemarannya tersebut.
Fakta ini
menyimpulkan bahwa masyarakat konsumen baik di perkotaan maupun di pedesaan di
Indonesia, saat ini ternyata mulai menunjukkan peningkatan kecerdasannya dalam urusan pilih memilih suatu
barang.
Sementara untuk
segmen masyarakat di tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, penulis pun masih
melihat relevansi fakta tadi dengan perbandingan sekitar 50% untuk mereka yang lebih
mengutamakan faktor kualitas, dan 50% sisanya “terpaksa” lebih mempertimbangkan
segi ekonomis ( harga ) dalam memilih sebuah produk.
Bahkan ketika
penulis mencatat sejumlah keluhan dan complain dari sebagian konsumen, seketika
penulis merasakan seolah olah ia sedang berada di posisi sebagai “terdakwa”
dalam sebuah persidangan, walaupun sebelumnya telah dijelaskan bahwa riset
pemasaran tersebut adalah independent karena tidak mengatas namakan merek untuk
produk tertentu.
Materi complain
dan dan keluhan konsumen umumnya berkisar pada kualitas produk yang dirasa
tidak sebanding dengan harga yang harus mereka keluarkan, atau seputar layanan
purna jual yang dipandangnya kurang optimal.
Kesimpulannya
faktor kualitas dan layanan konsumen adalah superior dalam dunia pemasaran yang
terbuka, jujur, dan sportif.
Bisakah aksioma
ini diterapkan pada bidang industri kuliner seperti produksi telur asin ?
Jawabnya, tentu
saja bisa.
Bogor, 21
November 2014, jam 10.40
By. Admin www.fajarbogor.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar