Dua Belas Kiat dalam
Menggapai ilmu Syar'i
Kiat Pertama:Mengikhlaskan Niat Dalam Menuntut Ilmu
Dalam menuntut ilmu kita harus ikhlas karena Allah Ta’ala, dan
seseorang tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas
karena Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk ikhlas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itlllah agama yang lunts.” (QS. AI-Bayyinah: 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itlllah agama yang lunts.” (QS. AI-Bayyinah: 5)
Kiat Kedua: Memohon Ilmu Yang Bermanfaat Kepada Allah Ta’ala
Dan di antara do’a yang Rasulullah shallallaahll ‘alaihi wa sallam
ucapkan adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad (VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102), dari Shahabivah Ummu Salamah radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad (VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102), dari Shahabivah Ummu Salamah radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]
Juga do’ a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]
Kiat Ketiga: Bersungguh-Sungguh Dalam Menuntut Ilmu Dan Rindu Untuk
mendapatkannya
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para
penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilrnu
yang berrnanfaat -dengan izin Allah- apabila kita bersungguh-sungguh dalam
menuntutnya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
Kiat Keempat: Menjauhkan Diri Dari Dosa Dan Maksiyat Dengan
Bertaqwa Kepada Allah Azza Wa Jalla
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan dalam kitabnya ad-Daa’
wad Dawaa’ bahwa seseorang tidak mendapatkan ilmu disebabkan dosa dan maksiyat
yang dilakukannya. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan
banyak melakukan dosa dan maksiyat.
Seorang Muslim dan Muslimah harus menjauhi dosa-dosa besar, apalagi
ia seorang penuntut ilmu, oleh sebab itu kita harus menjauhi dosa dan maksiyat.
Dosa yang paling besar adalah syirik, durhaka kepada kedua orang tua, melakukan
bid’ah, kemudian menjauhkan dosa-dosa besar seperti muamalah riba dengan
berbagai macamnya (di antaranya bunga bank, renten, dsb), minum khamr (minuman
keras), narkoba, merokok, mencukur jenggot, makan dan minum dari usaha yang
haram, isbal (memanjangkan kain atau celana melebihi mata kaki bagi laki-laki),
tabarruj (wanita membuka aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya),
durhaka kepada suami, namimah (mengadu domba), dusta (berbohong), ghibah
(membicarakan aib seorang Muslim), menggunjing, menuduh seorang Muslim dengan
tuduhan yang tidak benar, memfitnah seorang Muslim, dan lain sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Di antara hal yang sangat
mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati
dari makan makanan yang haram, berbuat berzina, mencuri, minum khamr, melihat
kepada sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun, ia sangat sulit untuk menahan
gerak lisannya hingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama,
zuhud, dan banyak beribadah, ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat
mendatangkan murka Allah Ta’ala. Yang dengan satu kalimat darinya ia
dimasuk-kan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh dari-pada jarak antara
timur dan barat.”
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]
Perhatikanlah, sesungguhnya dosa dan maksiyat dapat menghalangi
ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan, dan
mendatangkan siksa Allah Ta’ ala.
Kiat Kelima: Tidak Boleh Sombong Dan Tidak Boleh Malu Dalam
Menuntut Ilmu
Ketahuilah bahwa sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan
mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dirinya.
Ummul Mukminin ‘Aisyah (wafat th. 58 H) radhiyallaahu’anha pemah
berkata tentang sifat para wanita Anshar,
”Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahiihnya kitab al-ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘ilmi.]
”Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahiihnya kitab al-ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘ilmi.]
Para wanita Anshar radhiyallaahu ‘anhunna selalu bertanya kepada
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang
masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu
yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallaahu ‘anha pemah bertanya kepada RasuIullah, ”Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran apakah seorang
wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjima’)?” Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ”Apabila ia melihat air.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 130).]
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 130).]
Maksudnya seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjima’ dan
keluar air mani. Ia dapati air mani setelah terbangun dari tidumya. Ini
menunjukkan bahwa wanita pun mengeluarkan air mani sebagaimana halnya
laki-laki. Penyerupaan anak kepada ayah atau ibunya tergantung pada air mani
keduanya, mana yang lebih unggul, maka anak itu akan mirip dengannya.
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahima-hullaah mengatakan,
“Tidak akan mendapatkan ilmu orang yang malu dan orang yang sombong.”
[Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab al-’Ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/534-535, no. 879).]
[Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab al-’Ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/534-535, no. 879).]
Kiat Keenam: Mendengarkan Baik-Baik Pelajaran Yang Disampaikan
Ustadz, Syaikh, Atau Guru
Para Salafush Shalih adalah manusia yang sangat antusias terhadap
ilmu. Apabila seorang syaikh atau guru menyampaikan pelajaran, mereka pun
mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Imam adz-Dzahabi (wafat th. 748 H) rahimahullaah menyebutkan dalam
kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ dan Tadzkiratul Huffaazh bahwa Ahmad bin Sinan
(wafat th. 256 H) rahimahullaah berkata, “Dalam majelis ‘Abdurrahman bin Mahdi
(wafat th. 198 H) tidak ada seorang pun yang berbicara, tidak ada pensil yang
diraut, dan tidak ada seorang pun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala
mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat.”
[Tadzkiratul Huffa£lzh (1/242, no. 313) cet. Darul Kutub aJ-’Ilmiyyah.]
[Tadzkiratul Huffa£lzh (1/242, no. 313) cet. Darul Kutub aJ-’Ilmiyyah.]
Kiat Ketujuh: Diam Ketika Pelajaran Disampaikan
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i kita tidak boleh berbicara
yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan
ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Haruslah dibedakan antara
majelis ilmu dan majelis yang lainnya; antara tempat kita menuntut ilmu syar’i
dengan tempat yang lain, apalagi yang disampaikan adalah ayat-ayat Allah dan
hadits-hadits Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Secara umum Allah menyebutkan tentang hal ini dalam firman-Nya,”Dan
apabila dibacakan Al-Qur-an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6018, 6136), Muslim (no. 47), dan at-Tirmidzi (no. 2500), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6018, 6136), Muslim (no. 47), dan at-Tirmidzi (no. 2500), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barangsiapa yang diam, maka ia akan selamat.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/159, 177), at-Tirmidzi (no. 2301), dan ad-Darimi (lI/299), dari Shahabat ‘ Abdullah bin’ Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 536) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6367).]
“Barangsiapa yang diam, maka ia akan selamat.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/159, 177), at-Tirmidzi (no. 2301), dan ad-Darimi (lI/299), dari Shahabat ‘ Abdullah bin’ Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 536) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6367).]
Kiat Kedelapan: Berusaha Memahami Ilmu Syar’i Yang Disampaikan
Dalam memahami pelajaran, manusia berbeda-beda keadaannya, ada yang
langsung tanggap dan memahami pelajaran yang disampaikan, ada pula yang lambat.
Namun, kita harus senantiasa berusaha memahami dan memohon kepada Allah agar
diberikan pemahaman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.]
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.]
Shahabat’Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berdo’ a:
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).”
[Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalikai dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1704). AI-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Fat-hul Baari (I/48).]
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).”
[Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalikai dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1704). AI-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Fat-hul Baari (I/48).]
Kiat Kesembilan: Menghafalkan Ilmu Syar’i Yang Disampaikan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang rnernbawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2658), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.]
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang rnernbawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2658), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.]
Dalarn hadits tersebut Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’ a
kepada Allah agar Dia memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar,
memahami, menghafal, dan mengamalkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Maka, kita pun diperintahkan untuk menghafalkan pelajaran-pelajaran
yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Kiat Kesepuluh: Mengikat Ilmu Atau Pelajaran Dengan Tulisan
Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran,
poin-poin penting, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawakan
oleh syaikh atau gurunya. Tujuannya agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang
dan terus tertancap diingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Karena
daya tangkap atau kemampuan menghafal dan memahami pelajaran berbeda antara
satu orang dengan yang lain-nya. Selain itu, dengan mencatat pelajaran ia dapat
memahami dan menghafalkannya.
Adanya catatan atau alat tulis serta buku tulis mempakan bekal
seorang penuntut ilmu untuk memperoleh ilmu sebagaimana hal itu telah
diisyaratkan oleh imam asy-Syafi’i rahimahullaah.
Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.”
[Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘ Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/306, no. 395), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallanhu’anhu. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab Silsilah ash-Shahiihah (no. 2026) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4434).]
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.”
[Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘ Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/306, no. 395), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallanhu’anhu. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab Silsilah ash-Shahiihah (no. 2026) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4434).]
Kiat Kesebelas: Mengamalkan Ilmu Syar’i Yang Telah Dipelajari
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari
adalah untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati
kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang
penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i ini
dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami biasa memohon
bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai
pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah,
merasa diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu
tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk
diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaannya, dan ganjaran
pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
Allah Ta’ ala berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan
benar, sebagaimana firman-Nya:
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar
kita mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda,
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih."]
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih."]
Kiat Kedua belas: Mendakwahkan Ilmu
Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita
sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.
Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah ‘Azza wa Jalla
sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan firrnan
Allah Ta’ala,
“Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku
tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus
mengetahui hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang yang
menjadi objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita
karena Allah Ta’ ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata,
“Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya, dan
suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kalian
dari Neraka.”
Maraji': Makalah Daurah Muslimah X di Masjid
Imam Ahmad bin Hanbal Sabtu, 24-25 Rabiul Akhir 1428/ 12-13 Mei 2007 (Baiturrahmah)
Artikel: assunnah-qatar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar