Mengenal Mahram
Penulis :
Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Ada
beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian
para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram.
Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya
di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah
haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya
di-fathah.
Mahram
ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh
seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh
melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh
melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya
dari hukum-hukum mahram.
Mahram
sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan),
mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena
pernikahan).
Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1.
Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2.
Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari
jalur laki-laki maupun wanita
3.
Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4.
Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua)
dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5.
Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6.
Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7.
Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka
inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)
Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah
disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan.
Dua di
antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“Dan
(diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan
saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23)
Ayat
ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram
bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami
yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara
tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian
penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu
susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang
sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Apa
yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun
‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas),
keduanya
menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu
sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak
(orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan
seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah
mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah
mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara
dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu
dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke
atas.
Adapun
dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak
keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan
seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya
saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan
dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan
Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah
yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para
ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak
menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)
Dan
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang
mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits
Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan
kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan
yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya
adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi
untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot
puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1.
Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan
surat An-Nisa ayat 23.
2.
Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3.
Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4.
anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik
dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah
berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor
1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan
jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama
dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah
itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat
jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.
Dan
mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati,
maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal
mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau
diceraikan, dan seterusnya.
Selain
yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya
menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya
dan seterusnya.
Begitu
pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun
karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya,
berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat
tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan
tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih
sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ
“Dan
(haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara
bersama-sama).” (An-Nisa: 23)
Dan
hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan
bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)
Dikutip
dari Asysyariah.com offline Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini,
Judul: Siapa Saja Mahram itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar